Fivever Friends

Fivever Friends
HIJOU In Bali

Minggu, 22 Mei 2011

Cinta Sejati Tak Akan Meninggalkan Kita sendiri

Seluruh penumpang di dalam bus merasa simpati melihat seorang wanita muda dengan tongkatnya meraba-raba menaiki tangga bus. Dengan tangannya yang lain dia meraba posisi dimana sopir berada, dan membayar ongkos bus. Lalu berjalan ke Dalam bus mencari-cari bangku yang kosong dengan tangannya. Setelah yakin bangku yang dirabanya kosong, dia duduk. Meletakkan tasnya di atas pangkuan, dan satu tangannya masih memegang tongkat.



Satu tahun sudah, sebut saja wanita tersebut bernama Dinda, wanita muda itu, mengalami buta. Suatu kecelakaan telah berlaku atasnya, dan menghilangkan penglihatannya untuk selama-lamanya. Dunia tiba-tiba saja menjadi gelap dan segala harapan dan cita-cita menjadi sirna. Dia adalah wanita yang penuh dengan ambisi menaklukan dunia, aktif di segala perkumpulan, baik di sekolah, rumah maupun di linkungannya. Tiba-tiba saja semuanya sirna, begitu kecelakaan itu dialaminya. Kegelapan, frustrasi, dan rendah diri tiba-tiba saja menyelimuti jiwanya. Hilang sudah masa depan yang selama ini dicita-citakan.



Merasa tak berguna dan tak ada seorang pun yang sanggup menolongnya selalu membisiki hatinya. "Bagaimana ini bisa terjadi padaku?" dia menangis. Hatinya protes, diliputi kemarahan dan putus asa. Tapi, tak peduli sebanyak apa pun dia mengeluh dan menangis, sebanyak apa pun dia protes, sebanyak apapun dia berdo'a dan memohon, dia harus tahu, penglihatannya tak akan kembali.



Diantara frustrasi, depresi dan putus asa, dia masih beruntung, karena mempunyai suami yang begitu penyayang dan setia, sebut saja lelaki itu adalah Ardi. Ardi adalah seorang prajurit TNI biasa yg bekerja sebagai security di sebuah perusahaan. Dia mencintai Dinda dng seluruh hatinya. Ketika mengetahui Dinda kehilangan penglihatan, rasa cintanya tidak berkurang. Justru perhatiannya makin bertambah, ketika dilihatnya Dinda tenggelam kedalam jurang keputus-asaan. Ardi ingin menolong mengembalikan rasa percaya diri Dinda, seperti ketika Dinda belum menjadi buta.



Ardi tahu, ini adalah perjuangan yang tidak gampang. Butuh extra waktu dan kesabaran yg tidak sedikit. Karena buta, Dinda tidak bisa terus bekerja di perusahaannya. Dia berhenti dengan terhormat. Ardi mendorongnya supaya belajar huruf Braile. Dengan harapan, suatu saat bisa berguna untuk masa depan. Tapi bagaimana Dinda bisa belajar? Sedangkan untuk pergi ke mana-mana saja selalu diantar Ardi? Dunia ini begitu gelap. Tak ada kesempatan sedikitpun untuk bisa melihat jalan. Dulu, sebelum menjadi buta, dia memang biasa naik bus ke tempat kerja dan ke mana saja sendirian. Tapi kini, ketika buta, apa sanggup dia naik bus sendirian? Berjalan sendirian? Pulang-pergi sendirian? Siapa yang akan melindunginya ketika sendirian? Begitulah yang berkecamuk di dalam hati Dinda yg putus asa. Tapi Ardi membimbing Jiwa Dinda yg sedang frustasi dg sabar. Dia merelakan dirinya untuk mengantar Dinda ke sekolah, di mana Dinda musti belajar huruf Braile.



Dengan sabar Ardi menuntun Dinda menaiki bus kota menuju sekolah yang dituju. Dengan Susah payah dan tertatih-tatih Dinda melangkah bersama tongkatnya. Sementara Ardi berada di sampingnya. Selesai mengantar Dinda dia menuju tempat dinas. Begitulah, selama berhari-hari dan berminggu-minggu Ardi mengantar dan menjemput Dinda. Lengkap dengan seragam dinas security.



Tapi lama-kelamaan Ardi sadar, tak mungkin selamanya Dinda harus diantar, pulang dan pergi. Bagaimanapun juga Dinda harus bisa mandiri, tak mungkin selamanya mengandalkan dirinya. Sebab dia juga punya pekerjaan yg harus dijalaninya. Dengan hati-hati dia mengutarakan maksudnya, supaya Dinda tak tersinggung dan merasa dibuang. Sebab Dinda, bagaimanapun juga masih terpukul dengan musibah yg dialaminya.



Seperti yg diramalkan Ardi, Dinda histeris mendengar itu. Dia merasa dirinya kini benar-benar telah tercampakkan. "Saya buta, tak bisa melihat!" teriak Dinda. "Bagaimana saya bisa tahu saya ada di mana? Kamu telah benar-benar meninggalkan saya." Ardi hancur hatinya mendengar itu. Tapi dia sadar apa yang musti dilakukan. Mau tak mau Dinda musti terima. Musti mau menjadi wanita yg mandiri. Ardi tak melepas begitu saja Dinda. Setiap pagi, dia mengantar Dinda menuju halte bus. Dan setelah dua minggu, Dinda akhirnya bisa berangkat sendiri ke halte. Berjalan dengan tongkatnya. Ardi menasehatinya agar mengandalkan indera pendengarannya, di manapun dia berada.



Setelah dirasanya yakin bahwa Dinda bisa pergi sendiri, dengan tenang Ardi pergi ke tempat dinas. Sementara Dinda merasa bersyukur bahwa selama ini dia mempunyai suami yang begitu setia dan sabar membimbingnya. Memang tak mungkin bagi Ardi untuk terus selalu menemani setiap saat ke manapun dia pergi. Tak mungkin juga selalu Diantar ke tempatnya belajar, sebab Ardi juga punya pekerjaan yg harus dilakoni. Dan dia adalah wanita yg dulu, sebelum buta, tak pernah menyerah pada tantangan dan wanita yg tak bisa diam saja. Kini dia harus menjadi Dinda yg dulu, yg tegar dan menyukai tantangan dan suka bekerja dan belajar. Hari-hari pun berlalu. Dan sudah beberapa minggu Dinda menjalani rutinitasnya belajar, dengan mengendarai bus kota sendirian.



Suatu hari, ketika dia hendak turun dari bus, sopir bus berkata, "saya sungguh iri padamu". Dinda tidak yakin, kalau sopir itu bicara padanya. "Anda bicara pada saya?" " Ya", jawab sopir bus. "Saya benar-benar iri padamu". Dinda kebingungan, heran dan tak habis berpikir, bagaimana bisa di dunia ini, seorang buta, wanita buta, yg berjalan terseok-seok dengan tongkatnya hanya sekedar mencari keberanian mengisi sisa hidupnya, membuat orang lain merasa iri? "Apa maksud anda?" Dinda bertanya penuh keheranan pada sopir itu. "Kamu tahu," jawab sopir bus, "Setiap pagi, sejak beberapa minggu ini, seorang lelaki muda dengan seragam militer selalu berdiri di sebrang jalan. Dia memperhatikanmu dengan harap-harap cemas ketika kamu menuruni tangga bus. Dan ketika kamu menyebrang jalan, dia perhatikan langkahmu dan bibirnya tersenyum puas begitu kamu telah melewati jalan itu. Begitu kamu masuk gedung sekolahmu, dia meniupkan ciumannya padamu, memberimu salut, dan pergi dari situ. Kamu sungguh wanita beruntung, ada yang memperhatikan dan melindungimu".



Air mata bahagia mengalir di pipi Dinda. Walaupun dia tidak melihat orang tersebut, dia yakin dan merasakan kehadiran Ardi di sana. Dia merasa begitu beruntung, sangat beruntung, bahwa Ardi telah memberinya sesuatu yang lebih berharga dari penglihatan. Sebuah pemberian yang tak perlu untuk dilihat; kasih sayang yang membawa cahaya, ketika dia berada dalam kegelapan.
I Love U Mom



Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan bahagian nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata : “Makanlah nak, aku tidak lapar” ———-KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA

Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia dapat memberikan sedikit makanan bergizi untuk pertumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan suduku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata : “Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE DUA

Sekarang aku sudah masuk Sekolah Menengah, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak mancis untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kepentingan hidup. Di kala musim sejuk tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak mancis. Aku berkata : “Ibu, tidurlah, sudah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, aku tidak penat” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE TIGA

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi loceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata : “Minumlah nak, aku tidak haus!” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE EMPAT

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai keperluan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang pakcik yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata : “Saya tidak butuh cinta” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE LIMA

Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pencen. Tetapi ibu tidak mahu, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, tetapi ibu berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata : “Saya ada duit” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE ENAM

Setelah lulus dari ijazah, aku pun melanjutkan pelajaran untuk buat master dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universiti ternama di Amerika berkat sebuah biasiswa di sebuah syarikat swasta. Akhirnya aku pun bekerja di syarikat itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mahu menyusahkan anaknya, ia berkata kepadaku : “Aku tak biasa tinggal negara orang” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE TUJUH

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanser usus, harus dirawat di hospital, aku yang berada jauh di seberang samudera atlantik terus segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perit, sakit sekali melihat ibuku dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : “Jangan menangis anakku, Aku tidak kesakitan” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE DELAPAN.

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya. Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : “Terima kasih ibu..!” Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah-tengah aktiviti kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah. Jika dibandingkan dengan pasangan kita, kita pasti lebih peduli dengan pasangan kita. Buktinya, kita selalu risau akan kabar pasangan kita, risau apakah dia sudah makan atau belum, risau apakah dia bahagia bila di samping kita. Namun, apakah kita semua pernah merisaukan kabar dari orangtua kita? Risau apakah orangtua kita sudah makan atau belum? Risau apakah orangtua kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi… Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi orangtua kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” di kemudian hari.